Tribunal Pembantaian “PKI” Akan Luncurkan Website

Setelah didirikan Maret lalu, dan sesudah melakukan persiapan dan berbagai kegiatan internal, akhirnya Yayasan Tribunal Rakyat Internasional atau The Foundation of the International People’s Tribunal (IPT) kembali menggelar pertemuan terbuka. Kali ini uncuk meluncurkan websitenya.

“Hampir setengah abad, pembunuhan masal yang terjadi di Indonesia menyusul peristiwa 1 Oktober 1965 dan impunitas di seputar peristiwa ini terlupa secara sosial dan politik. Sekitar satu juta orang yang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dibunuhi, ratusan ribu warga ditahan tanpa proses peradilan, dieksekusi dan diasingkan, dan sampai sekarang beluma ada upaya untuk mencari siapa di balik pembuhunan ini, siapa sebenarnya para korban, dan di mana kuburan mereka.”Demikian IPT) mengawali Press Releasenya.

Selanjutnya siaran pers menulis bahwa masyarakat umum di Indonesia masih mengasosiasikan PKI dan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan PKI dengan atheisme, kekejaman yang mengerikan, penyimpangan seksual dan pemusnah bangsa.”Buku-buku sejarah dan pelajaran sejarah di sekolah sampai sekarang hanya memiliki satu versi, yaitu versi yang diciptakan Orde Baru. Selain itu, ada juga kelompok masyarakat yang tidak mau mendiskusikan zaman kelam dalam sejarah Indonesia tersebut”.

Atas dukungan pengurus di Indonesia dan di luar negeri IPT didirikan untuk membasmi budaya impunitas dan memecah lingkaran setan di seputar peristiwa 1965. “ Bersama dengan jaringan pengurus yang berbasis di Indonesia dan beberapa negara lain, Yayasan ingin membentuk Tribunal Rakyat Internasional IPT, yang akan menuntut Negara Indonesia agar menyelidiki kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh tentara dan kelompok preman yang dikuasai tentara.”

Kegiatan-kegiatan yang akan diselenggarakan sebelum dan sesudah Tribunal bertujuan untuk memberi kesempatan bersuara bagi para korban dan penyintas, baik yang hidup sebagai eksil atau yang di Indonesia yang kehilangan hak-hak sebagai warga.

Press release juga menyebut istilah revolusi mental dan tabiat kekerasan orang Indonesia setelah merdeka dari jajahan Belanda. “Ada juga kegiatan debat publik mengenai sejarah dan tabiat kekerasan Indonesia pasca zaman kolonial. Ini bisa membantu untuk menciptakan “revolusi mental” yang bisa mendorong untuk menghilangkan budaya kekerasan tadi. Selain itu tujuannya juga untuk menciptakan Indonesia yang menegakkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan sosial dan gender didukung oleh kelompok-kelompok agama dan sosial yang progresif.”

Press release menambahkan, IPT bukanlah pengadilan pidana, karena itu tidak akan memiliki mandat untuk memberi keadilan dan kompensasi kepada para korban. Toh badan ini akan berusaha untuk mendorong negara bertanggung jawab terhadap para korban dan keluarganya, dan terhadap seluruh masyarakat Indonesia.

“Kegiatan dan even-even terbuka yang digelar sebagai persiapan Tribunal, lanjut siaran pers,” sama pentingnya dengan Tribunal itu sendiri dan even-even ini akan melibatkan sejumlah peneliti, baik di Indonesia maupun di berbagai negara di luar Indonesia. Dan juga melibatkan para praktisi hukum dan aktivis internasional di bawah koordinasi Ibu Nursyahbani Katjasungkana dan Prof. Dr. Saskia E. Wieringa.”

Yayasan akan menggelar Tribunal di Den Haag, kota mahkamah internasional, segera setelah bulan Oktober untuk mencari kebenaran dan keadilan dalam kasus kejahatan terhadap kemanusiaan. Ini berarti lima puluh tahun setelah peristiwa Oktober 1965.

Selamat dalam siaran pers disebutkan, misi Tribunal adalah untuk memeriksa bukti kejahatan-kejahatan, membangun berkas ilmiah dan historis yang akurat.  Di samping itu akan ada testimoni dari sejumlah korban dan penyintas dari Indonesia dan para eksil yang tinggal di Eropa.

Oleh karena itu Yayasan membuka website untuk memberi informasi tentang kejahatan terhadap kemanusian tersebut. Peluncuran website merupakan langkah pertama untuk menembus kebisuan mengenai pembunuhan 1965. Acara peresmian website digelar bekerjasama dengan Lembaga Sejarah Sosial Internasional atau Internationaal Instituut voor Sociale Geschiedenis (IISG) pada 17 Desember mendatang.

Pos ini dipublikasikan di Berita dan tag , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar